إنَّ
الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ
اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن
لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً
عَبْدُهُ وَرَسُولُه.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا أَمَّا بَعْدُ
"Kaedah Memilih Pemimpin menurut Islam"
Puji syukur tidak henti hentinya
kita panjatkan atas kenikmatan yang dicurah kan Allah kepada kita secara terus
menurus dan tiada hentinya.dan juga kenikmatan yang paling besar yang kita
nikmati saat ini dan tidak dapat dinikmati oleh umat lain selain umat nabi
Muhammad SAW.yaitu nikmat iman dan islam. Shalawat serta salam kita panjatkan
kepada nabi kita Muhammad SAW semoga kita semua mendapat syafaat oleh beliau
pada hari kiamat nanti .amiiiiin.
Hadirin Jama’ah Shalat
Jum’at yang berbahagia,
Allah berfirman dalam surat QS. Ali
Imran: 28 yang berbunyi:
لَا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[1] dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
dan Hanya kepada Allah kembali (mu).
A.
Asbabun
Nuzul ayat ini
Ada
dua riwayat mengenai sebab turunnya ayat ini, yakni sebagai berikut :
1. Dalam tafsir AtTabari (3/228) dikatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Al-Hajjaj bin Amr, yang mempunyai teman orang-orang Yahudi yaitu Ka’ab bin Al-Asyraf, Ibnu Abi Haqiq dan Qais bin Zaid kemudian ada beberapa sahabat yang menasehatinya dan berkata :”Jauhilah mereka dan engkau harus berhati-hati karena mereka nanti akan memberi fitnah kepadamu tentang agama dan kamu akan tersesatkan dari jalan kebenaran.” Namun sahabat yang dinasehati mengabaikan nasehat ini, dan mereka masih tetap memberi sedekah kepada orang-orang Yahudi dan bersahabat dengan mereka, maka kemudian turun ayat tersebut.
2. Sedangkan dalam tafsir Al-Qurthubi (4/58) disebutkan bahwa Ibnu Abbas a berkata bahwasanya ayat ini turun kepada Ubadah bin Shamit, bahwasanya beliau mempunyai beberapa sahabat orang Yahudi dan ketika Nabi n keluar bersama para sahabatnya untuk berperang (Ahzab) Ubadah berkata kepada Rasulullah “wahai Nabi Allah aku mambawa lima ratus orang Yahudi mereka akan kelur bersamaku dan akan ikut memerangi musuh.” Maka kemudian turunlah ayat tersebut.
B.
Penjelasan
Kata
لَا يَتَّخِذِ : Tidak menjadikan
أوليآء : Kata Auliya’ adalah bentuk jama’ dari kata wali (yang berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong). Yakni janganlah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin (juga teman dekat), dan jangan memberikan kepada mereka dengan memberi pertolongan sebagai bentuk loyalitas, menyatakan kecintaan dan dukungan (dalam masalah agama)
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ : Yakni Allah ta'ala berlepas diri darinya, maka ia akan celaka
تُقَاةً : Melindungi diri dengan menggunakan lisan (ucapan) yaitu kata-kata yang dapat melunakkan sikap orang dan menjauhkan permusuhan.
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ : Allah ‘Azza wa jalla memberi peringatakan dan kewaspadaan kepadamu terhadap siksaan-Nya yaitu jika kamu berbuat maksiat kepada-Nya.
C. Kandungan ayat
Menurut al Qurthubi, ayat ini memiliki
kandungan dua hal, yang pertama larangan memberikan loyalitas dan kasih sayang
kepada orang kafir. Yang kedua bolehnya bertaqiyah (menyembunyikan
keimanan karena takut) karena lemahnya umat islam kala itu. (Tafsir al Qurthubi
: 4/57)
Tafsir at Thabari (6/313) : Ayat ini adalah larangan dari Allah ’azza wa jalla kepada
orang-orang mukmin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong,
pelindung, dan mencintainya.
Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir
(2/30) : (Dengan ayat ini) Allah melarang hamba-hambanya yang beriman untuk
berwala’ (memberikan loyalitas) kepada orang-orang kafir dan mengambil mereka
sebagai wali.
Demikian pula kita akan temukan
penjelasan yang tidak jauh berbeda dalam tafsir-tafsir yang lain seperti
tafsir Ibnu Mundzir (1/165-166), tafsir Ibnu Hatim (2/628-629), Fath al
Qadir (1/380) dan yang lainnya.
D. Ayat yang serupa (larangan mengangkat
orang kafir sebagai wali)
QS. Al-Maidah ayat 51
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
QS. Al-Mumtahanah
ayat 1 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang..”
QS. An Nisa’ ayat 144
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?”
QS. At Taubah ayat
9 : “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak
dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
QS. Ali Imran ayat
118 : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.”
Hadirin Jama’ah Jum’at
yang dimuliakan Allah,
Menurut jumhur (mayoritas) ulama
dari berbagai mazhab Islam, bahwa memilih pemimpin atau mengangkat pejabat
untuk suatu jabatan tertentu demi kemaslahatan kaum
muslimin, hukumnya adalah wajib (al Imamah, al Aamidy: 70-71).
Karena keberadaan seorang pemimpin, dalam pandangan Islam, berfungsi untuk
menegakkan agama Allah serta untuk menyiasati dan mengatur urusan duniawi
masyarakat dengan mengacu kepada agama (Muqadimah Ibnu Khaldun: HAL 211).
Lebih tegas lagi, Imam Ibnu Taimiyah
menyatakan, bahwa fungsi jabatan apapun di dalam Islam bertujuan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini berlaku
untuk jabatan tertinggi dan jabatan tinggi negara, seperti presiden, panglima
perang, kepala kepolisian, direktur bank dan lain sebagainya., sampai jabatan
terendah seperti pimpinan rombongan dalam sebuah perjalanan. (al Hisbah: 8-14).
Jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan sebaik-baiknya karena
ia akan dipertanggungjawabkan di dunia kepada rakyat, dan kepada Allah kelak di
akhirat. Rasulullah saw. pernah mengingatkan Abu Dzar ra. yang sempat meminta
jabatan. Beliau katakan, “Sesungguhnya jabatan ini adalah amanah dan
sesungguhnya di akhirat akan menyebabkan kekecewaan dan penyesalan, kecuali
bagi yang berhak menerimanya dan mampu menunaikan tugas sebagaimana mestinya”
(HR. Muslim, no:1826).
Hadirin Jama’ah Jum’at
yang dimuliakan Allah,
Terdapat beberapa indikator di dalam
Al-qur’an, sebagai acuan kita dalam memilih pemimpin. Pertama, bahwa seorang kandidat harus memiliki
track record yang baik sebelum ia diangkat sebagai pemimpin, ia memiliki misi
dan visi yang mulia untuk menyelamatkan bangsanya dari keterpurukan dan
keterbelakangan di segala sektor kehidupan. Hal ini diisyaratkan ketika Allah
swt. mengangkat nabi Ibrahim as. sebagai pemimpin bagi seluruh manusia, karena
prestasinya yang luar biasa dalam menunaikan misi yang diembannya. Ibrahim
dinilai berhasil dalam berdakwah menegakkan tauhid dan mengembalikan loyalitas
dan kepatuhan manusia kepada aturan Allah semata. Sejak remaja, ketika ia
berhasil menumbangkan berhala-berhala lalu ia dibakar hidup-hidup, hingga
usianya yang senja, ketika diuji agar menyembelih putranya, Ismail, dan
membangun Ka’bah sebagai lambang kemurnian tauhid, Ibrahim tetap konsisten
dalam memegang idealismenya, yakni membawa misi dakwah kerahmatan untuk alam
semesta. Namun ketika Ibrahim memohon agar Allah berkenan mengangkat anak
keturunannya sebagai pemimpin seperti dirinya, Allah pun menjawab, bahwa tidak
boleh orang-orang yang zalim duduk di atas kursi kekuasaan (QS. Al-Baqarah:
124). Karena yang paling berhak menjadi pemimpin hanyalah orang-orang yang
shaleh (QS. Al-Anbiya: 105). Tampilnya orang-orang zalim di atas panggung
kekuasaan, lebih dikarenakan lemahnya orang-orang shaleh. Tepatlah ucapan
khalifah Umar bin Khatthab ra. dalam sebuah do’anya, “Ya Allah, ku mengeluh
kepada-Mu, mengapa sang pendosa memiliki kekuatan sedang orang yang terpercaya seringkali
lemah” (al Hisbah: 15).
Kedua, kita harus mengangkat pemimpin yang seiman. Allah
berfirman, “Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai
wali (pemimpin, teman dekat, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang
beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka..” (QS. Ali Imran: 28).
Ketiga, memilih pemimpin juga harus memperhatikan asal-usul
kelompok, partai, dan relasi-relasi dekat sang kandidat. Karena betapapun
bersih dan keshalihan sang calon, apabila ia berada dalam lingkaran pertemanan,
kelompok atau partai yang busuk, lambat laun keshalihannya akan terkikis dan
keberadaannya justeru akan dimanfaatkan oleh kelompoknya demi menjustifikasi
prilaku menyimpang mereka. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar
kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu.
Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut
mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi”. (QS. Ali
Imran: 118).
Keempat, pemilih juga harus jeli melihat motivasi sang calon. Orang
yang ambisius dalam mencari jabatan tidak layak untuk diberi kepercayaan untuk
menjadi pemimpin. Di antara indikasinya, jika ia menempuh segala jalan dan
menghalalkan semua cara untuk mendapatkan jabatannya, di antaranya menyuap (money
politic), memalsukan berkas-berkas pencalonan dan sebagainya. Ketika
berhasil menjabat, orang demikian, tidak akan segan-segan melakukan praktek
kotor, demi mengeruk kekayaan pribadi sebesar-besarnya, sekalipun dengan
melanggar HAM atau merusak flora dan fauna. Firman Allah, “Dan di antara manusia
ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan ia
mempersaksikan kepada Allah atas (ketulusan) isi hatinya, padahal ia adalah
penantang yang paling keras. Dan apabila ia berkuasa, maka ia berjalan di muka
bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang
ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 204-205).
Hadirin Jama’ah Jum’at
yang dimuliakan Allah,
Ketika allah melarang umat islam
untuk memakan daging babi sebagian besar umat islam merasa takut akan ancaman
Allah padahal Allah hanya memperingatkan dalam alquran berupa satu ayat saja.
Tetapi ketika Allah memerintahkan umat islam untuk memilih pemimpin se Aqidah
dengan mengulang nya setidaknya lebih dari lima kali didalam ayat yang berbeda,tetapi
banyak sekali umat islam yang mengingkarinya .
Untuk itu tugas kitalah yang sudah
mengetahui dan memahami perintah Allah dalam
memilih pemimpin yang seakidah agar dapat menyampaikan kepada keluarga
dan masyarakat kita..Selain itu, masih terdapat indikator-indikator lain dalam
memilih pemimpin dalam Alqur’an, seperti ia harus mempunyai intergritas keilmuan yang terkait dengan
kepemimpinannya, sehat jasmani-ruhani dan
sebagainya. (QS. Al-Baqarah: 247 dan Al-Qashash: 26).
Di alam demokrasi, seperti di negeri
ini, di mana kedaulatan dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat di
lembaga-lembaga perwakilan, baik pada tingkat nasional maupun lokal, berada di
tangan setiap individu, kita selaku umat berkewajiban memilih calon wakil dan
kandidat pemimpin yang shalih, bersih KKN, memiliki integritas agama, keilmuan
dan moralitas yang baik, sesuai dengan petunjuk Alqur’an. Kita wajib memberikan
dukungan kepada calon pemimpin yang shaleh yang memiliki visi dan misi dakwah
rahmatan lil-‘alamin, agar ia mendapatkan kekuatan secara konstitusional
sebagai pemimpin negeri ini. Jika tidak, maka kita bakal diperintah oleh
sekelompok orang yang tak segan-segan menyengsarakan umat dan bangsa ini ke
depan. Na’udzu biLlah min dzalik.
Jumat.22 Maret 2013
H.Kasbiransyah